“Ya, pokoknya saya hidup dan bekerja itu, yang
paling penting tiga hal, Mbak.
Pertama, patuh pada peraturan. Kedua, kejujuran. Kan kalo orang jujur selalu dipercaya sama orang. Ketiga, disiplin
keamanan, disiplin warga, disiplin waktu. Yang penting disiplin segalanya.”
Sebuah asap
mengepul di udara. Jari telunjuk dan tengah mengapit sebuah benda berbentuk
silinder kecil panjang di tangan kanannya. Sekali-kali asap keluar dari mulut
bapak paruh baya itu. Bau rokok mencuat kemana-mana.
Di posko
berukuran 1 x 1 meter, Joni Supriyatman bertugas. Posko dengan kombinasi warna
hijau-hitam dan berdinding semen, seakan menjadi tempat terbaiknya untuk
beristirahat usai berkeliling komplek perumahan Batu Ceper Indah. Seragam biru
tua dilengkapi tali peluit yang bertengger di bahu kiri dan alat pentungan yang
tergantung di pinggang, menjawab identitas pekerjaannya sebagai satpam.
Sebulan sudah,
Joni, biasa dipanggil, menjalani pekerjaannya sebagai satpam perumahan Batu
Ceper Indah. Waktu tugasnya dari pukul tiga sore hingga sebelas malam. Pria
berusia 38 tahun ini sehari-hari menjalani dua pekerjaan. Ketika pagi hari, dia
harus menarik becak dan ketika sore hari dia bekerja sebagai satpam.
“Awalnya saya
enggak mau jadi satpam. Tetapi karena sudah ditawari sama bapak-bapak komplek,
saya coba. Kalau saya bisa mengabdi sama
masyarakat ya dijalanin saja,” katanya sambil tersenyum.
Bapak dari empat
orang anak ini berpostur kecil. Walaupun demikian, dia sangat bertanggung jawab
menjalankan tugasnya. Pekerjaan dia sebagai tukang becak, sudah ditekuni selama
15 tahun. Lokasi mangkal disekitar komplek perumahan Batu Ceper Indah. Walaupun
Joni tidak tinggal disekitar komplek perumahan, tetapi pengabdiannya terhadap
pekerjaannya yang senantiasa melayani warga-warga yang membutuhkan transportasi
becak, membuatnya mendapat kepercayaan untuk menjadi satpam.
Sifatnya yang
ramah dan tegas, membuat Joni mudah berbaur dengan warga-warga komplek
perumahan. Saat malam hari, dia suka berkumpul bersama bapak-bapak untuk
sekedar nongkrong, menyalurkan hobinya bermain catur, atau bertukar pendapat.
Asap rokok
perlahan mulai menghilang. Tangan kanan Joni kini menggenggam sebuah pematik
berwarna ungu. Selagi berbincang, dengan ramah dia menyapa setiap warga komplek
yang lewat. Mobil, motor lalu lalang di depan posko satpam tempat kami berada. Pandangannya
sangat tajam. Mengawasi dengan seksama
setiap kegiatan di jalanan komplek.
Semangat Joni
membara ketika bercerita mengenai lika-liku perjalanan hidup dia. Lahir dari
keluarga sederhana di Semarang, Jawa Tengah. Joni adalah anak ketiga dari lima
bersaudara. Saat kelas 3 SD, dia terpaksa berhenti sekolah. Kedua orangtuanya
telah meninggal. Untuk membantu adik-adiknya, dia menyambung hidup di Jakarta
bersama yayasan penampungan tenaga kerja. Tempat pertama dia bekerja di Jakarta,
yaitu di kawasan Mangga Dua.
Tidak ada
keahlian khusus yang dimiliki Joni. Tetapi sepanjang hidupnya, dia telah
mencoba berbagai macam pekerjaan.
“Namanya mau
nyambung hidup, terpaksa berjuang, Mbak,”
katanya sambil menerawang ke masa lalu.
Mulai dari
membantu usaha catering, bekerja
sebagai penjual tiket di gedung bioskop, berjualan buah dingin, bekerja di
perusahaan mie, bekerja di bengkel, hingga menjadi karyawan gudang salah satu
perusahaan garmen, semua sudah dilakukan oleh Joni. Bahkan dia pernah bekerja
selama dua tahun di Pangkal Pinang di sebuah perkebunan Lada.
Saat bekerja
sebagai di perusahaan garmen, Joni bertemu dengan Satiyem, yang saat itu
sebagai tukang jahit. Satiyem berasal
dari Cilacap dan sama-sama mengadu nasib di Jakarta.
Senyum
mengembang di wajah Joni, saat saya menanyakan pertemuan dengan istrinya.
“Waktu itu kita
sama-sama kerja di perusahaan garmen. Saya bagian gudang dan dia (Satiyem)
bagian jahit.”
Ketertarikan
itulah yang membuat Joni mempersunting Satiyem. Hingga kini mereka telah
dikaruniai empat orang anak. Selain Joni, Satiyem sendiri juga bekerja mencari
nafkah sebagai buruh jahit. Dia bersyukur hingga saat ini keempat anaknya masih
bisa bersekolah.
“Saya sebagai
orang tua sudah enggak punya cita-cita lagi. Tapi buat anak, yang penting orang
tua sudah memberi ilmu. Masalah harta atau benda urusan belakangan. Tergantung
si anak gimana memakai ilmu itu dengan benar.”
Setelah keluar
dari perusahaan garmen bersama istrinya, Joni mulai menarik becak. Tahun 1998,
saat Soeharto lengser, menjadi awal karir Joni sebagai tukang becak. Becaknya-pun
bukan becak pinjaman tetapi hasil perjuangannya sendiri mengumpulkan uang untuk
membeli becak.
Dibalik semua
pekerjaan yang telah Joni lewati, ada satu pekerjaannya yang membuatnya
tertarik.
“Sebenarnya
paling tertarik waktu kerja di bengkel. Waktu itu kerja tiga tahun, Mbak.”
“Bapak kerja sebagai
apa di bengkel?”
“Banyak, Mbak. Serabutan gitu. Kadang ngikut
mobil sewaan, kadang masang-masang jok.”
“Berarti bapak
suka otomotif gitu? Kenapa enggak lanjut aja kerja di bengkel?”
“Ya, saya enggak
punya apa-apa, Mbak. Saya enggak
punya kemampuan, gak cocok kerja di bengkel,” katanya sambil tersenyum malu. Meskipun
demikian, terlihat jelas bahwa Joni sangat tertarik dengan bidang otomotif.
Walaupun telah
menjadi satpam, Joni tetap tidak mau meninggalkan profesinya sebagai tukang
becak. Hal ini dilakukan agar kebutuhan sehari-hari keluarganya dapat
terpenuhi. Ketiga prinsip yang dipegang dalam hidup dan pekerjaannya juga
menjadi pedoman Joni.
Menjalani dua
pekerjaan sebagai tukang becak dan satpam, memiliki tantangan dan resiko
tersendiri. Tetapi Joni mengaku selama ini bisa melewatinya. Menurutnya tidak
ada tantangan yang terjadi. Dia menjalani kerjaannya dengan hati nurani. Hanya
saja ada resiko yang selalu dia ingat:
“Kalau enggak dapat duit, saya dan keluarga mau
makan apa?”
Inilah yang
menjadi motivasi untuk Joni bekerja.
Langit semakin
sore, aktivitas mulai terasa di lingkungan komplek perumahan Batu Ceper Indah. Joni
beranjak dari tempat duduknya. Dia berjalan menuju sepeda trendy berwarna hijau yang terparkir di depan posko. Sudah waktunya
dia melakukan keliling jaga.
“Kerjaan saya
memang enggak tetap dari dulu. Sekarang saya betah jadi tukang becak dan
satpam. Yang penting ada buat makan keluarga sehari-hari. Saya nikmati apa yang
ada, gak usah sing neko-neko,”
katanya menutup pembicaraan.
(gak usah sing neko-neko = tidak usah aneh-aneh)
Play at Borgata - JT Hub
BalasHapusBorgata Hotel Casino & 포항 출장마사지 Spa. See the Borgata 군포 출장안마 Hotel Casino & Spa location 부천 출장샵 map and see activity. It's your hotel. 의정부 출장마사지 There are 19 restaurants and an outdoor pool 영천 출장마사지