Waktu menunjukkan
pukul 08.00 malam. Suasana mencekam nampak di Nairobi, daerah yang
berada di negara Kenya. Boniface Mwangi, 29 tahun, memasuki sebuah
rumah tempat timnya berkumpul. Dia adalah seorang aktivis Kenya yang
tergabung dalam organisasi Picha Mtaani, bertujuan memerangi
pemerintahan yang penuh dengan korupsi, kekerasan, dan ketidakadilan.
Banyak masyarakat Kenya hidup dengan penghasilan dibawah rata-rata,
korupsi antara tahun 2002-2007 mencapai 1$BN, pada pemilu Desember
2007 lebih dari 1.100 orang terbunuh dan 600.000 orang secara paksa
dipindahkan. Boniface duduk mengitari meja bersama para timnya.
Tumpukan kertas-kertas dan beberapa cangkir teh menghiasi meja
diskusi. Lima orang termasuk Boniface, berdiskusi mengenai rencana
mereka.
“Aku khawatir
karena jika kita merencanakan proyek ini, kita harus melihat apakah
itu sesuai dengan dinding,” kata salah seorang dari mereka sambil
menunjukkan sebuah kertas dengan coretan.
Graffiti, Boniface
menyebutnya demikian. Itulah kreativitas yang mereka gunakan untuk
menyalurkan pendapat dan aksi protes. Ini adalah proyek pertama
mereka. Waktu terus berjalan, malam kian mencekam. Perasaan gugup
memacu adrenalin Boniface selama perjalanan menuju pusat kota
Nairobi. Mereka melepaskan diri dari zona aman dan datang untuk
memerangi undang-undang dan mengatakan kebenaran.
Pukul
10.00 malam, Boniface dan timnya segera melancarkan aksinya.
Gambaran, tulisan, dan graffiti mulai memenuhi dinding kota.
“Ini adalah
gambaran Kenya. Kami memiliki burung pemakan bangkai, yang merupakan
anggota parlemen, mereka glutonouss,
mereka memakan pajak kami, mereka memperkosa ibu kami, mereka ambil
tanah kami, jadi kami menggunakan lukisan untuk mengatakan bahwa kita
tahu siapa mereka, kami tahu kalian preman, dan kami berjuang kembali
untuk merebut kembali negara kami,” katanya.
Uhuru dan Bankslave,
graffiti artist yang membantu Boniface, menyambut baik gagasan ini.
Semangat dan rasa gugup bercampur terlihat dari wajah Boniface
karena kegiatan
ini dilakukan diam-diam untuk menghindari polisi.
Kepuasan atas
graffiti ternyata tidak berpihak dari sisi pemerintah. Beberapa
minggu kemudian, graffiti tersebut telah menjadi pembicaraan hangat,
sehingga Boniface mulai ditekan. Berbalut jaket dan mengenakan topi
hijau, Boniface memandang dari atas
gedung, sisi
Kenya yang kelam. Ingatan akan perkataan para politisi terhadapnya
tak pernah lepas.
“Mari kita bekerja
sama, kandidat saya mewakili perubahan, kami akan memberikanmu uang
di masa depan dan kamu sekarang memiliki anak,” kata politisi.
“Tidak,”
katanya.
“Suatu kesalahan
kamu tidak bekerja sama bersama kami dan hal ini akan menimbulkan
masalah,” kata politisi. Beberapa hari kemudian, Boniface dipanggil
oleh kepolisian.
Tiada putus asa.
Boniface terus melancarkan aksinya. Sebelum menjadi aktivis, dia
bekerja sebagai foto jurnalistik dengan Elijah Kanyi. Karyanya
tentang kekerasan di Kenya saat pemilu Desember 2007, meraih beberapa
kali penghargaan global. Dengan segala peralatan yang dipunya,
Boniface mulai menggerakkan “kemarahan” orang-orang Kenya atas
pemerintah Kenya melalui foto-foto hasil jepretannya bersama dengan
organisasi Picha Mtaani. Pameran foto-foto di sepanjang jalan ini
menghadirkan lebih dari 700.000 pengunjung. Tetapi pro dan kontra
mulai muncul. Kenangan akan kekerasan itu kembali mengetuk rasa
trauma setiap orang-orang Kenya dan air mata mereka perlahan-lahan
mulai turun.
Boniface dan timnya
mulai mempersiapkan diri untuk grafiti berikutnya meskipun beresiko
penangkapan.
“Aku benci menjadi
takut,” katanya.
Walaupun rasa takut
terpancar jelas dari wajah Boniface, tetapi dia harus tetap
melanjutkan aksinya. Selama beberapa bulan Bonifacie dan timnya
membuat sebanyak 40 lembar graffiti. Grafitti ini bertebaran hampir
diseluruh dinding-dinding kota Kenya.
Selanjutnya,
Boniface kembali menuju tempat pameran foto yang masih terus
berlanjut dalam menjelang pemilu berikutnya pada tahun 2013. Disana,
seseorang berpostur besar mendatangi dan memperingatkan akan aksi
Boniface ini. Komisaris distrik mengatakan pameran harus segera
dihentikan. Ada satu gambar sangat sensitif dan mereka tidak menyukai
hal tersebut. Perdebatan terus berlanjut, Boniface berusaha
mempertahankan pameran ini. Tetapi pameran itu tetap ditutup secara
paksa.
Tak pernah ada kata
menyerah untuk Boniface. Dia bersama timnya kembali mempersiapkan
bahan baru untuk “menyerang” pemerintah. 49 buah peti mati
disiapkan menggambarkan tahun selama para politisi pemerintahan
memiliki kebebasan secara hukuman sejak kemerdekaan. Boniface
berencana membawa peti ini ke parlemen ketika mereka sedang melakukan
sesi MP. Burung pemakan bangkai adalah gambar utama menggambarkan
pemerintahan yang ada dan pesan-pesan kepada masyarakat Kenya
terpampang di depan penutup peti mati.
“Bury the
vulture with your vote.” (Kubur
burung pemakan bangkai dengan suaramu)
Nekat. Boniface
memang benar-benar nekat. Tak jauh dari tempat dia mempersiapkan
bahan-bahan untuk aksinya, berdiri sebuah tempat pertahanan polisi
dari pemerintahan. Walaupun menakutkan tapi mereka memang harus siap
mengambil resiko. Njeri Mwangi, istri Boniface, juga memberikan
beberapa saran untuk rencana mereka membawa peti mati ini kepada
parlemen. Boniface yakin dengan usahanya untuk mengubah negara Kenya.
“Revolusi tidak
akan terjadi di Nairobi sendiri atau di rumah ini sendiri, tetapi itu
terjadi melalui campur tangan negara. Jadi, kami ingin orang-orang
percaya atas apa yang kami coba lakukan.”
Bersama dengan
beberapa aktivis dan masyarakat Kenya yang menginginkan perubahan
disebut Ballot Revolution, Boniface menggiring massa menuju parlemen
dengan menciptakan unjuk rasa secara damai dan menaruh 49 buah peti
mati di depan parlemen. 15 menit kemudian setelah unjuk rasa, peti
mati tersebut dibersihkan oleh petugas kepolisian, tetapi Boniface
tidak kecewa atau putus asa.
“Kita tidak
kehilangan harapan, perubahan tidak langsung datang dalam sekejap.
Mungkin apa yang saya lakukan akan diselesaikan oleh anak saya.
Tetapi saya berharap hal ini dapat diselesaikan secepatnya daripada
nanti,” katanya.
Paragraf pembuka cukup menarik...
BalasHapus