Kamis, 02 Mei 2013

No Title


This is my feeling now :)



Crush - David Archuleta



Everyday i always think



When something happens and bothers me



Feature Profil : Gak Usah Sing Neko-Neko

Tugas ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah Penulisan Feature


 “Ya, pokoknya saya hidup dan bekerja itu, yang paling penting tiga hal, Mbak. Pertama, patuh pada peraturan. Kedua, kejujuran. Kan kalo orang jujur selalu dipercaya sama orang. Ketiga, disiplin keamanan, disiplin warga, disiplin waktu. Yang penting disiplin segalanya.”
Sebuah asap mengepul di udara. Jari telunjuk dan tengah mengapit sebuah benda berbentuk silinder kecil panjang di tangan kanannya. Sekali-kali asap keluar dari mulut bapak paruh baya itu. Bau rokok mencuat kemana-mana.

Di posko berukuran 1 x 1 meter, Joni Supriyatman bertugas. Posko dengan kombinasi warna hijau-hitam dan berdinding semen, seakan menjadi tempat terbaiknya untuk beristirahat usai berkeliling komplek perumahan Batu Ceper Indah. Seragam biru tua dilengkapi tali peluit yang bertengger di bahu kiri dan alat pentungan yang tergantung di pinggang, menjawab identitas pekerjaannya sebagai satpam.

Sebulan sudah, Joni, biasa dipanggil, menjalani pekerjaannya sebagai satpam perumahan Batu Ceper Indah. Waktu tugasnya dari pukul tiga sore hingga sebelas malam. Pria berusia 38 tahun ini sehari-hari menjalani dua pekerjaan. Ketika pagi hari, dia harus menarik becak dan ketika sore hari dia bekerja sebagai satpam.

“Awalnya saya enggak mau jadi satpam. Tetapi karena sudah ditawari sama bapak-bapak komplek, saya coba.  Kalau saya bisa mengabdi sama masyarakat ya dijalanin saja,” katanya sambil tersenyum.

Bapak dari empat orang anak ini berpostur kecil. Walaupun demikian, dia sangat bertanggung jawab menjalankan tugasnya. Pekerjaan dia sebagai tukang becak, sudah ditekuni selama 15 tahun. Lokasi mangkal disekitar komplek perumahan Batu Ceper Indah. Walaupun Joni tidak tinggal disekitar komplek perumahan, tetapi pengabdiannya terhadap pekerjaannya yang senantiasa melayani warga-warga yang membutuhkan transportasi becak, membuatnya mendapat kepercayaan untuk menjadi satpam.

Sifatnya yang ramah dan tegas, membuat Joni mudah berbaur dengan warga-warga komplek perumahan. Saat malam hari, dia suka berkumpul bersama bapak-bapak untuk sekedar nongkrong, menyalurkan hobinya bermain catur, atau bertukar pendapat.

Asap rokok perlahan mulai menghilang. Tangan kanan Joni kini menggenggam sebuah pematik berwarna ungu. Selagi berbincang, dengan ramah dia menyapa setiap warga komplek yang lewat. Mobil, motor lalu lalang di depan posko satpam tempat kami berada. Pandangannya sangat tajam.  Mengawasi dengan seksama setiap kegiatan di jalanan komplek.

Semangat Joni membara ketika bercerita mengenai lika-liku perjalanan hidup dia. Lahir dari keluarga sederhana di Semarang, Jawa Tengah. Joni adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Saat kelas 3 SD, dia terpaksa berhenti sekolah. Kedua orangtuanya telah meninggal. Untuk membantu adik-adiknya, dia menyambung hidup di Jakarta bersama yayasan penampungan tenaga kerja. Tempat pertama dia bekerja di Jakarta, yaitu di kawasan Mangga Dua.

Tidak ada keahlian khusus yang dimiliki Joni. Tetapi sepanjang hidupnya, dia telah mencoba berbagai macam pekerjaan.

“Namanya mau nyambung hidup, terpaksa berjuang, Mbak,” katanya sambil menerawang ke masa lalu.

Mulai dari membantu usaha catering, bekerja sebagai penjual tiket di gedung bioskop, berjualan buah dingin, bekerja di perusahaan mie, bekerja di bengkel, hingga menjadi karyawan gudang salah satu perusahaan garmen, semua sudah dilakukan oleh Joni. Bahkan dia pernah bekerja selama dua tahun di Pangkal Pinang di sebuah perkebunan Lada.

Saat bekerja sebagai di perusahaan garmen, Joni bertemu dengan Satiyem, yang saat itu sebagai tukang jahit.  Satiyem berasal dari Cilacap dan sama-sama mengadu nasib di Jakarta.

Senyum mengembang di wajah Joni, saat saya menanyakan pertemuan dengan istrinya.