Senin, 09 September 2013

HAK-HAK PUBLIK


Elvira Beryl Valencia Gulo
11140110226
Indepth Reporting
Jenis-jenis Hak Publik

Berikut ini jenis hak-hak publik:


Kamis, 02 Mei 2013

No Title


This is my feeling now :)



Crush - David Archuleta



Everyday i always think



When something happens and bothers me



Feature Profil : Gak Usah Sing Neko-Neko

Tugas ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah Penulisan Feature


 “Ya, pokoknya saya hidup dan bekerja itu, yang paling penting tiga hal, Mbak. Pertama, patuh pada peraturan. Kedua, kejujuran. Kan kalo orang jujur selalu dipercaya sama orang. Ketiga, disiplin keamanan, disiplin warga, disiplin waktu. Yang penting disiplin segalanya.”
Sebuah asap mengepul di udara. Jari telunjuk dan tengah mengapit sebuah benda berbentuk silinder kecil panjang di tangan kanannya. Sekali-kali asap keluar dari mulut bapak paruh baya itu. Bau rokok mencuat kemana-mana.

Di posko berukuran 1 x 1 meter, Joni Supriyatman bertugas. Posko dengan kombinasi warna hijau-hitam dan berdinding semen, seakan menjadi tempat terbaiknya untuk beristirahat usai berkeliling komplek perumahan Batu Ceper Indah. Seragam biru tua dilengkapi tali peluit yang bertengger di bahu kiri dan alat pentungan yang tergantung di pinggang, menjawab identitas pekerjaannya sebagai satpam.

Sebulan sudah, Joni, biasa dipanggil, menjalani pekerjaannya sebagai satpam perumahan Batu Ceper Indah. Waktu tugasnya dari pukul tiga sore hingga sebelas malam. Pria berusia 38 tahun ini sehari-hari menjalani dua pekerjaan. Ketika pagi hari, dia harus menarik becak dan ketika sore hari dia bekerja sebagai satpam.

“Awalnya saya enggak mau jadi satpam. Tetapi karena sudah ditawari sama bapak-bapak komplek, saya coba.  Kalau saya bisa mengabdi sama masyarakat ya dijalanin saja,” katanya sambil tersenyum.

Bapak dari empat orang anak ini berpostur kecil. Walaupun demikian, dia sangat bertanggung jawab menjalankan tugasnya. Pekerjaan dia sebagai tukang becak, sudah ditekuni selama 15 tahun. Lokasi mangkal disekitar komplek perumahan Batu Ceper Indah. Walaupun Joni tidak tinggal disekitar komplek perumahan, tetapi pengabdiannya terhadap pekerjaannya yang senantiasa melayani warga-warga yang membutuhkan transportasi becak, membuatnya mendapat kepercayaan untuk menjadi satpam.

Sifatnya yang ramah dan tegas, membuat Joni mudah berbaur dengan warga-warga komplek perumahan. Saat malam hari, dia suka berkumpul bersama bapak-bapak untuk sekedar nongkrong, menyalurkan hobinya bermain catur, atau bertukar pendapat.

Asap rokok perlahan mulai menghilang. Tangan kanan Joni kini menggenggam sebuah pematik berwarna ungu. Selagi berbincang, dengan ramah dia menyapa setiap warga komplek yang lewat. Mobil, motor lalu lalang di depan posko satpam tempat kami berada. Pandangannya sangat tajam.  Mengawasi dengan seksama setiap kegiatan di jalanan komplek.

Semangat Joni membara ketika bercerita mengenai lika-liku perjalanan hidup dia. Lahir dari keluarga sederhana di Semarang, Jawa Tengah. Joni adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Saat kelas 3 SD, dia terpaksa berhenti sekolah. Kedua orangtuanya telah meninggal. Untuk membantu adik-adiknya, dia menyambung hidup di Jakarta bersama yayasan penampungan tenaga kerja. Tempat pertama dia bekerja di Jakarta, yaitu di kawasan Mangga Dua.

Tidak ada keahlian khusus yang dimiliki Joni. Tetapi sepanjang hidupnya, dia telah mencoba berbagai macam pekerjaan.

“Namanya mau nyambung hidup, terpaksa berjuang, Mbak,” katanya sambil menerawang ke masa lalu.

Mulai dari membantu usaha catering, bekerja sebagai penjual tiket di gedung bioskop, berjualan buah dingin, bekerja di perusahaan mie, bekerja di bengkel, hingga menjadi karyawan gudang salah satu perusahaan garmen, semua sudah dilakukan oleh Joni. Bahkan dia pernah bekerja selama dua tahun di Pangkal Pinang di sebuah perkebunan Lada.

Saat bekerja sebagai di perusahaan garmen, Joni bertemu dengan Satiyem, yang saat itu sebagai tukang jahit.  Satiyem berasal dari Cilacap dan sama-sama mengadu nasib di Jakarta.

Senyum mengembang di wajah Joni, saat saya menanyakan pertemuan dengan istrinya.

Selasa, 19 Maret 2013

INI ADALAH PILIHANKU!


Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah penulisan feature :) 

“Yang paling aku kangenin dari keluarga ya mama, Mbak. Apalagi masakan sop buatan mama,” kata Ida sambil tersenyum. Pikirannya menerawang ke kampung halaman.
Zumaroh Aida, 18 Tahun, hidup jauh dengan orang
tuanya di Pemalang untuk bekerja membantu
keluarga sebagai baby sitter.
Di kamar 2 x 2 meter yang bermodalkan kipas angin kecil, seakan menjadi saksi bagimana Zumaroh Aida atau biasa dipanggil Ida, harus hidup sendiri, terpisah dengan orang tua. Kamar sederhana ini memiliki lemari plastik dan rak kecil yang penuh oleh tumpukkan baju. Cermin kecil digantung di dinding dan sebuah poster besar Super Junior, boyband asal Korea Selatan, menyambut setiap orang yang masuk ke kamarnya. Gadis berusia 18 tahun ini memiliki tinggi semampai. Rambut hitam panjangnya dikuncir kebelakang. Dipangkuannya, ada seorang anak kecil berusia tiga tahun yang menempel manja. Dua tahun sudah Ida harus meninggalkan Pemalang, Jawa Tengah dan menjadi baby sitter salah satu keluarga di Tangerang. Dia harus rela meninggalkan masa mudanya dan bekerja membantu ekonomi keluarga.
“Sedih sih Mbak, harus pisah sama orang tua, tapi juga senang bisa bantuin mereka,” katanya.
Berat. Sedih. Perasaan itu sangat terasa saat pertama kali hidup berjauhan dengan orang tua. Rasa ingin pulang selalu terlintas dibenaknya. Tetapi ingatan akan tujuan utamanya, membuat dia tetap bertahan.
“Aku mau sekolahin adik, biar ada satu dikeluargaku yang bisa sekolah sampai lulus dan berhasil,” katanya pelan sembari menidurkan anak asuhannya. Tangan kanannya mengambil sebuah majalah di lantai dan mengipas-ngipaskannya agar si anak tidak kepanasan.
Tiba-tiba terasa sebuah getaran di lantai yang membuat saya dan dia terkejut. Kami berdua saling bertatapan. Sebuah alunan lagu Korea ”It Has To Be You” yang dinyanyikan oleh Yesung, terdengar nyaring. Dia tersenyum malu melihat ke arah saya. Suara itu berasal dari handphone Nokia Asha 311 berwarna pink. Dia segera mengambil handphone-nya dan menekan tombol “Call”.  

Rabu, 27 Februari 2013

Kreativitas Melawan Politik Pemerintahan Kenya

Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah penulisan feature :)


Waktu menunjukkan pukul 08.00 malam. Suasana mencekam nampak di Nairobi, daerah yang berada di negara Kenya. Boniface Mwangi, 29 tahun, memasuki sebuah rumah tempat timnya berkumpul. Dia adalah seorang aktivis Kenya yang tergabung dalam organisasi Picha Mtaani, bertujuan memerangi pemerintahan yang penuh dengan korupsi, kekerasan, dan ketidakadilan. Banyak masyarakat Kenya hidup dengan penghasilan dibawah rata-rata, korupsi antara tahun 2002-2007 mencapai 1$BN, pada pemilu Desember 2007 lebih dari 1.100 orang terbunuh dan 600.000 orang secara paksa dipindahkan. Boniface duduk mengitari meja bersama para timnya. Tumpukan kertas-kertas dan beberapa cangkir teh menghiasi meja diskusi. Lima orang termasuk Boniface, berdiskusi mengenai rencana mereka.
Aku khawatir karena jika kita merencanakan proyek ini, kita harus melihat apakah itu sesuai dengan dinding,” kata salah seorang dari mereka sambil menunjukkan sebuah kertas dengan coretan.
Graffiti, Boniface menyebutnya demikian. Itulah kreativitas yang mereka gunakan untuk menyalurkan pendapat dan aksi protes. Ini adalah proyek pertama mereka. Waktu terus berjalan, malam kian mencekam. Perasaan gugup memacu adrenalin Boniface selama perjalanan menuju pusat kota Nairobi. Mereka melepaskan diri dari zona aman dan datang untuk memerangi undang-undang dan mengatakan kebenaran. Pukul 10.00 malam, Boniface dan timnya segera melancarkan aksinya. Gambaran, tulisan, dan graffiti mulai memenuhi dinding kota.
Ini adalah gambaran Kenya. Kami memiliki burung pemakan bangkai, yang merupakan anggota parlemen, mereka glutonouss, mereka memakan pajak kami, mereka memperkosa ibu kami, mereka ambil tanah kami, jadi kami menggunakan lukisan untuk mengatakan bahwa kita tahu siapa mereka, kami tahu kalian preman, dan kami berjuang kembali untuk merebut kembali negara kami,” katanya.
Uhuru dan Bankslave, graffiti artist yang membantu Boniface, menyambut baik gagasan ini. Semangat dan rasa gugup bercampur terlihat dari wajah Boniface karena kegiatan ini dilakukan diam-diam untuk menghindari polisi.